Kaidah-kaidah Rabbani


“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan yang lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok) Janganlah kalian saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah dari kebanyakan prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian dari kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentulah kalian merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Menerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Al-Hujurat: 11-12)

Kaidah-kaidah rabbani itu untuk menjaga kelangsungan masyarakat. Hukum-hukum yang menjadikan tegaknya masyarakat sebagaimana bumi dan langit tegak di atas hukum-hukum tersebut. Sehingga apabila matahari dan bulan menyimpang dari garis edarnya, seluruh alam semesta akan mengalami kehancuran.

Apabila aturan-aturan (hukum-hukum) yang menjaga kelangsungan hidup masyarakat tersebut kacau, seluruh masyarakat akan terombangambing dan terguncang. Tidaklah mudah mempersatukan masyarakat kecuali dengan aturan yang telah diturunkan Allah. Sebab Allah-lah Sang Pencipta masyarakat tersebut, Pencipta manusia, yang membentuk ruh dan yang menciptakan fitrah bagi segala sesuatu.

Ayat-ayat tersebut membicarakan tentang bagaimana cara menjaga keberadaan masyarakat muslim. Berbicara tentang prasangka, tentang umpatan dan gunjingan, tentang olok-olok, dan tentang ghibah. Itu semua yang menghancurkan keberadaan masyarakat muslim, mengguncangkan bangunannya, mencerai-beraikan ikatannya, melenyapkan negerinya, dan merusakkan gedung-gedungnya.

Masyarakat tidak akan bisa tegak selain di atas sekelompok manusia. Sementara manusia—Allah yang menciptakan fitrah mereka—berlainan selera dan keinginan. Berbeda pula kecenderungannya, cara berpikirnya, kadar pengertiannya, serta berbeda dalam banyak hal. Apabila setiap orang dibiarkan lepas kendali dan dibukakan bagi hatinya pintu-pintu setan, berprasangka kepada orang lain semaunya, menganggap dirinya tidak bersalah dan semua orang salah, bangga (ujub) terhadap pendapatnya, dan menganiaya dirinya sendiri; tidak ada hal-hal yang mengendalikan hatinya, mengekang lisannya, dan mengendalikan akal fikirannya, maka hal tersebut akan menjadi salah satu sumber bencana yang mengguncangkan tatanan masyarakat.

Hal tersebut akan merapuhkan bangunannya sebagaimana ngengat melapukkan kayu. Maka dari itu, Rabbul ‘Izzati—bahkan sampai soal prasangka sekalipun—menertibkannya dengan kaidah syar’i yang benar dan mengikat lisan serta menertibkannya dengan hukum-hukum. Allah membatasi manusia dalam tata cara pergaulan serta hubungan di antara mereka.
Din Islam datang untuk menjaga lima kepentingan manusia, yakni:
  1. Din,
  2. Jiwa,
  3. Harta,
  4. Kehormatan, dan
  5. Akal.
Inilah lima kepentingan tersebut. Islam datang untuk menjaganya. Begitu pula agama-agama (samawi) lainnya.

Untuk melindungi Din, disyariatkan qital dan hukuman mati bagi seorang murtad. Untuk melindungi jiwa, disyariatkanlah hukum qishash dan keharaman atau larangan bunuh diri. Demikian pula Islam melarang segala yang membahayakan jasad dan akal.

Rasulullah bersabda:
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR.Ahmad)
Islam melarang narkotika, alkohol, arak, dan lain-lain yang membahayakan. Itu untuk melindungi jiwa dan melindungi akal.

Untuk menjaga kehormatan, disyariatkanlah hukum jilid (dera) bagi seorang pemfitnah dan pezina yang belum muhshan (berkeluarga), serta hukum rajam bagi seorang pezina muhshan. Juga melarang ghibah dalam rangka melindungi kehormatan. Untuk melindungi harta, disyariatkanlah hukum potong tangan bagi seorang pencuri. Juga melarang penipuan, penimbunan, persaingan dagang (yang tidak sehat), mengadu untung dengan cara berspekulasi terhadap nilai-nilai barang dagangan, dan lain-lain.
Penjagaan atau perlindungan terhadap Din, jiwa, akal, harta dan kehormatan, semua disyariatkan melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, ada perkara lain yang tidak mungkin diatur melalui tasyri’ (undang-undang). Contohnya, memandang wanita ajnabi yang lewat di jalan. Perbuatan seperti ini tidak mungkin dicegah melalui undang-undang dan tidak mungkin dihukum dengan hukum had. Pencegahannya harus datang dari dalam hati manusia sendiri. Jika antara hukum had, syariat dan undang-undang tidak saling bekerja sama dalam menghukum orang yang tidak takut terhadap larangan dan tidak memedulikan nasihat maka seluruh masyarakat akan rusak.

Di sini, kita diberi penjagaan oleh Islam melalui Taujih dan Tasyri’. Taujih ialah nasihat yang memberikan pengaruh kepada jiwa, melunakkan hati, dan mencegah dari berbagai perbuatan keji (yang tampak maupun yang tersembunyi).

Allah berfirman:
وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
 “Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi…” (Al-An’âm: 151)

Memang ada perbuatan-perbuatan keji yang tersembunyi, di mana aturan-aturan maupun hukuman-hukuman tidak bermanfaat untuk mengatasinya. Misalnya, hasad, riya’, ragu-ragu (akan iman),nifak, prasangka, dan sebagainya. Hal-hal seperti ini memerlukan taujih yang dapat memengaruhi kepekaan hati dan mengarahkan jiwa.

Jika kedua macam wasilah ini (tasyri’ dan taujih) tidak saling menopang, undang-undang yang bagaimana pun tidak bisa mencegah meski telah memberikan larangan. Aturan yang bagaimana pun tidak mungkin bermanfaat meski tegas dan keras sekali pun.

Oleh karena itu, tatanan-tatanan hukum Barat gagal dalam menerapkan perundang-undangan. Sebab hati manusia yang mereka atur tidak menjiwai perundang-undangan tersebut. Ada batas yang menghalangi antara apa yang dirasakan di dalam hati manusia dengan apa yang menjadi tuntutan undang-undang di dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, harus kompak antara taujih dan tasyri’ di dalam mencegah hal-hal negatif dalam diri manusia. Maksud taujih di sini ialah memperbaiki budi pekerti manusia, mempertautkan hati manusia dengan Sang Penciptanya; mengingatkan manusia dengan adanya hisab dan pembalasan pada hari Kiamat.

Berangkat dari sinilah, sesungguhnya iman kepada Allah merupakan pengendali keimanan satu-satunya di dalam masyarakat muslim. Iman  kepada Allah menjamin pelaksanaan syariat atas manusia di dalam masyarakat. Al Qur’an memfokuskan pembahasannya tentang hari Kiamat, gambaran-gambarannya, tentang azab, tentang Neraka dan apinya yang menyala-nyala, tentang Jannah dan kenikmatannya; adalah untuk membantu di dalam mengaplikasikan perintah-perintahnya pada diri manusia di dalam masyarakat.

Namun demikian, masyarakat tidak mungkin kosong dari orangorang jahat sampai kapan pun jua, meski taujih dan nasihat telah banyak disampaikan. Dari sinilah hukum-hukum had itu diberlakukan. Hukuman dera dan rajam bagi yang berzina, hukuman dera bagi yang memfitnah, hukuman dera bagi yang meminum khamer, hukuman qishash bagi yang membunuh, hukuman potong tangan bagi yang mencuri. Sebab ada di dalam masyarakat orang-orang yang tidak peduli pada petuah-petuah dan tidak menggubris nasihat-nasihat yang disampaikan kepada mereka. Mereka telah mengunci pintu hatinya dan di atas hati mereka ada tutup.

Allah berfirman:
وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ
 “Mereka berkata, ‘Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) dari apa yang kamu serukan kepada kami, dan di telinga kami ada sumbatan dan di antara kami dan kamu ada  dinding, maka bekerjalah kamu; sesungguhnya kami bekerja (pula)’.” (Fushilat: 5)

Penulis : Dhani El_AShim
Diinisiasi dari Tarbiyah Jihadiyah jilid 7 karya syaikh Abdullah Azzam rahimahullah

Sumber: kiblat.net

No comments

Theme images by suprun. Powered by Blogger.